FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN, Konsep dasar dan hakekat ilmu
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Manusia ditakdirkan oleh Sang pencipta memiliki potensi ideal yang cukup
kompleks, sehingga manusia sebagai salah satu makhluk hidup amat berbeda dengan
makhluk-makhluk hidup lainnya seperti binatang, tumbuhan dan jenis lainnya.
Menurut Barbara Clerk dalam Abdurrahman (2002: 37) “Hasil penelitian Wittrock
menunjukkan bahwa manusia memiliki dua belahan otak kiri dan kanan yang
mengemban fungsinya berbeda. Belahan otak lebih berfungsi; linier, sekuensia,
analitik, dan rasional, membaca, bahasa, computasi matematis, penemuan dan
kritik. Belahan otak kanan berkaitan dengan berpikir spatial, holistik, kreasi,
seni, konsep matematis, sintesis, intuisi, dan daya perseptual. Belahan otak
kanan disebut juga otak kuno yang juga dimiliki oleh hewan, sedang belahan otak
kiri hanya dimiliki oleh manusia. Ungkapan ilmiah ini dapat disimpulkan bahwa
kreasi potensi akal manusia sangat sempurna sebab dari itulah manusia memilih
rasa ingin tahu pada kemampuan berpikir; inderawi, rasio, sampai intuisi, atau
dengan kata lain kemampuan berpikir manusia sampai pada tingkat berfikir
radikal, mendalami dan luas yang basa disebut berfilsafat.
Dalam proses manusia berfikir muncullah berbagai pengetahuan-pengetahuan.
mula-mula pengetahuan tersebut masih bersifat pengetahuan biasa yakni
pengetahuan yang dipergunakan orang terutama untuk hidupnya sehari-hari tanpa
harus mengetahui seluk-beluk yang sedalam-dalamnya dan tanpa harus mengetahui
sebabnya (Poedjawijatna, 2004: 23). Selanjutnya ada pula orang yang mulai
mencari atau berfikir lebih dalam menyelidiki fenomena-fenomena alam dan
mencari jawaban di balik rasa tanyanya ini disebut dengan ilmu dimana hasil
penjelajahan berfikir lebih berkarakter dengan bertujuan; mencari kebenaran
melalui jalan metodologi, bersifat terbuka dan sistematis.
Gejala pengetahuan manusia secara tegas dibedakan antara Si Pengenal
(subjek) dan yang dikenal (objek), secara konkret satu sama lain tidak ada
tanpa yang lain. Jika dilihat dari sudut jasmani-inderawi, biasanya pengalaman
dan pengenalan manusia disebut konkret, maksudnya terikat ruang dan waktu.
Pengetahuan inderawi merupakan dasar untuk mengadakan kemampuan perbandingan
kekhususan manusia lebih lanjut dan lebih menyeluruh. Pengetahuan manusia itu
terjadi sesuai dengan susunan kesatuan jiwa-raganya yang bersifat rohani
(Verhaak dan H. Imam, 1991). Dengan kata lain pengambilan pengetahuan diperoleh
melalui pengalaman empirikal individu yaitu dengan melalui proses
(Poedjawijatna: 2004); pengumpulan fakta, mendeskripsikan fakta, pemilihan dan
klasifikasi, analisa pengambilan kesimpulan dan perumusannya. Sehingga secara
umum pengetahuan terbagi dua yakni pengetahuan empiris aposteriori yang artinya
memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman empiris, dan pengetahuan rasional
apriori yang artinya pengetahuan yang diperoleh tidak lewat pengalaman empiris
melainkan lewat akal (rasio). Kedua-duanya ini pula biasa dikenal dengan
istilah proses pemikiran induktif dan deduktif.
Pengetahuan dan ilmu adalah merupakan dua hal yang berbeda tipis. Namun
ilmu berasal dari pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap
sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang
dihadapinya. Hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu (Surajiyo,
2000: 67). Pendapat ini dari Depdikbud (1982/1983) pengetahuan merupakan
khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi
berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. S.
Suriasumantri (2003: 51) berpendapat proses memperoleh pengetahuan
manusia terbagi atas 3 yakni; kaum rasional berpendapat pengetahuan diperoleh
lewat permainan akal, kaum empiris dengan pengalaman inderawi, intuisi lewat
hati, ringkasnya berdasarkan epistemologi dalam filsafat.
Definisi ilmu juga didefinisikan oleh beberapa tokoh sebagai berikut:
Chalmers (1983) ilmu itu adalah suatu aktivitas rasional yang beroperasi
berdasarkan satu atau beberapa metode tertentu. Beerling, dkk (1990: 14) sesungguhnya
ilmu timbul berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi,
obyektifikasi, singkatnya, berdasarkan atas hasil pengolahan secara metodologi
terhadap arus bahan-bahan pengalaman yang dapat dikumpulkan. Secara singkat S. Suriasumantri (2001: 3) menyimpulkan bahwa itu
merupakan salah satu pengetahuan manusia. Dengan kata lain ilmu adalah produk
dari pengetahuan.
Pengetahuan dan kemudian menjadi ilmu adalah hal-hal yang mendasar untuk
membuat pemikiran orang-orang yang menyukai berfikir keras untuk maju lagi
meletakkan filsafat sebagai proses yang lebih komprehensif, sehingga dapat
disimpulkan bahwa filsafat ilmu adalah pengetahuan yang membahas dasar-dasar
ujud keilmuan (Depdikbud, 1982: 83). Filsafat ilmu juga adalah salah satu
cabang filsafat membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu dimana tujuannya
mengadakan analisa mengenai ilmu pengetahuan dan cara-cara bagaimana pendidikan
pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Fokus stressing filsafat
ilmu terletak pada penyelidikan ilmiah itu sendiri (Surajiyo, 2000).
2. Rumusan
masalah
Berdasarkan uraian panjang lebar sampai pada fokus masalah yakni filsafat
ilmu, beberapa pernyataan yang berkaitan dengan filsafat ilmu adalah sebagai
berikut:
- Apakah konsep dasar dari ilmu pengetahuan?
- Apakah hakikat ilmu?
- Apakah batas-batas dari ilmu?
BAB
II
PEMBAHASAN
I. Konsep Dasar Ilmu
Kalau ilmu adalah hasil dari berbagai pengetahuan dengan melalui beberapa
proses ilmiah, maka filsafat ilmu menurut
Beerling, et.al (1990) adalah Secondary Reflexion yang berarti
penyelidikan lanjutan dengan mengalihkan pertalian dari objek-objek yang
sebenarnya dari penyelidikan ilmiah kepada proses penyelidikannya sendiri,
sehingga muncullah saling keterkaitan dan jalin-menjalin antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan
penyelidikan ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengelolahan
bahan-bahan secara ilmiah. Setiap cabang-cabang ilmu dapat memberikan penekanan
kepada metodika serta sistem dan untuk berusaha memperoleh pemahaman mengenai
azas-azas, latar belakang serta hubungan-hubungan yang mempunyai kegiatan
ilmiah. Adapun sumbangan dari pada filsafat ilmu dapat membentuk kesatuan ilmu
menjadi dua bentuk; pertama, melalui filsafat ilmu dapat mengarahkan kita kepada metode-metode penyelidikan ilmiah
kejuruan kepada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah dengan menyertakan
faktor-faktor refleksi ilmiah seperti; latar belakang, hubungan, yang bersifat
factual, timbulnya kegiatan ilmiah, dalam hal ini memperbanyak kembali landasan
serta azas yang memungkinkan ilmu untuk memberikan pembenaran dirinya serta
terhadap apa yang dianggap benar.
Filsafat ilmu lebih menekankan pada hal yang bersifat ilmiah-nya
ilmu, akan tetapi lebih menyorot cara
kerja ilmu yang mengandung makna bahwa adanya pengetahuan mengenai permasalahan
yang terdapat dalam ilmu-ilmu secara mendalam. Surijoyo (2000) menyebutkan
filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Filsafat
ilmu dalam arti luas : Menampung permasalahan yang menyangkut hubungan ke luar
dari kegiatan ilmiah, seperti :
-
Implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia
yang bersifat ilmiah
-
Tata susila yang menjadi pegangan
penyelenggaraan ilmu
-
Konsekuensi-konsekuensi pragmatik-etik
penyelenggaraan ilmu sebagainya
b. Filsafat
ilmu dalam arti sempit: Menampung permasalahan yang bersangkutan dengan
hubungan-hubungan ke dalam yang terdapat
di dalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara
mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah
Tempat kedudukan
filsafat di dalam lingkungan filsafat sebagai keseluruhan:
Being
|
Knowing
|
Axiology
|
(ada)
|
(tahu)
|
(nilai)
|
Ontologi
|
Epistemologi
|
Etika
|
Metafisika
|
Logika dan
Metodologi
|
Estetika
|
Adapun tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh kedua lapangan
penyelidikan filsafat ilmu:
1) Sifat
pengetahuan ilmiah dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan epistemologi yang mempunyai fungsi
penyelidikan syarat-syarat pengetahuan manusia dan bentuk-bentuk pengetahuan
manusia
2) Menyangkut
cara-cara mengusahakan dan pencapaian pengetahuan ilmiah, dalam bidang ini
filsafat ilmu berkaitan erat dengan
logika dan metodologi ini berarti cara-cara mengusahakan dan
memperoleh pengetahuan ilmiah
berkaitan erat dengan susunan logis dan metodologis serta tata susunan berbagai
macam langkah dan unsur dan yang terdapat dalam kegiatan ilmiah pada umumnya
Di samping filsafat ilmu yang bersifat umum, filsafat ilmu khusus
membicarakan kategori-kategori serta metode-metode yang digunakan dalam
ilmu-ilmu tertentu atau dalam kelompok-kelompok ilmu tertentu, seperti kelompok
ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat, kelompok ilmu tekhnik dan sebagainya.
Filsafat ilmu khusus amat penting untuk diketahui karena acapkali filsafat ilmu
umum dari kelompok ilmu alam dipandang sebagai filsafat ilmu umum, dan kategori
serta metode-metode yang digunakan dalam kelompok ilmu tersebut sebagai pola
dasar bagi kelompok ilmu lainnya. Di dalam filsafat ilmu umum penekanannya pada
kesatuan, keragaman serta hubungan di
antara segenap ilmu masih merupakan persoalan, yang tegas-tegas harus
dikemukakan dalam kaitannya dengan
masalah-masalah lain seperti masalah hubungan antara ilmu dan kenyataan,
kesatuan, perjenjangan, serta disusun kenyataan dan sebagainya, Beerling.et.al
(1990)
Berbicara masalah konsep dasar ilmu, hal yang sangat signifikan untuk
perlu dijamah dan ditelaah adalah bagaimana filsafat itu mencoba untuk
menjelaskan praanggapan-praanggapan dari setiap ilmu, dengan begitu filsafat
ilmu dapat lebih menempatkan keadaan
yang tak dapat dilepas begitu saja dari cabang filsafat lainnya yang lebih
utama adalah epistomologi atau filsafat pengetahuan dan metafisika
Terkait
dengan kekhususan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya,
Verhak dan Haryono Imam (1995) secara gamblang menjelaskan pangkal ilmu pengetahuan
adalah bertitik pada “kesadaran akan pengetahuan”. Refleksi pengetahuan semula
berlangsung secara spontan, kemudian diatur secara sistematis sehingga dalam
pembentukan ilmu pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Ada 2 model yang menjadi
dasar:
a) Manusia
mau semakin mendekati apa yang merupakan objek pengetahuan ilmiah ataupun mau
menarik objek itu
b) Manusia
mau semakin mengerti apa yang merupakan objek pengetahuan ilmiah, seolah-olah
hendak memasuki susunan objek yang sedang dipelajari itu sedalam-dalamnya.
Kesimpulannya, filsafat pengetahuan memeriksa menggali paham tentang
kebenaran, kepastian, objektivitas, abstraksi dan intuisi serta filsafat lebih
memfokuskan dengan menyoroti kekhususan ilmu pengetahuan dengan gejala
pengetahuan secara umum.
Proses memperoleh pengetahuan melalui 3 aliran:
1. Rasionalisme
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat
dipercaya adalah rasio (akal). Syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan
ilmiah harus dikuatkan oleh akal walaupun pengalaman hanya dapat dipakai untuk
meneguhkan pengetahuan akal. Filsufnya antara lain Spinoza, Leibniz dan Rene
Descartes.
2. Empirisme
Aliran ini berpendapat bahwa pengalamanlah menjadi sumber pengetahuan,
baik bathiniah maupun lahiriah. Akal hanya untuk mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman. Filsuf yang terkenal pada aliran ini John Locke,
Davidhume.
3. Kritisisme
Immanuel Kant lewat kritisismenya mencoba menyelesaikan pertentangan
rasionalisme dan empirisme. Menurut Kant, peranan budi sangat besar sekali. Di
samping itu peranan pengalaman (empiris) nampak jelas dalam pengetahuan
aposteriornya.
Dalam kritiknya Kant membagi 3 macam pengetahuan:
-
Pengetahuan analitis: predikat termuat dalam
subjek
-
Pengetahuan sintesis aposteriori: predikat dihubungkan
dengan subjek berdasarkan pengalaman inderawi.
-
Pengetahuan sintesis apriori: akal budi dan
pengalaman inderawi dibutuhkan serentak.
Ilmu pengetahuan juga terkandung di dalamnya metode-metode ilmiah.
Menurut Soemargono dalam Surajiyo (2000) membagi 2 garis besar metode ilmiah:
1. Metode
ilmiah yang bersifat umum
Metode ini pun terbagi atas dua metode analitiko-sintesa dan metode non
deduksi. Metode analitiko-sintesa merupakan gabungan dari metode deduksi dan
induksi.
2. Metode
penyelidikan ilmiah yang juga terbagi atas 2 yaitu: metode penyelidikan yang
berbentuk daur/metode siklus empiric yaitu suatu cara penanganan terhadap
sesuatu obyek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat empiris, dan metode
vertikal yang berbentuk garis lempang/metode linear yang berarti proses yang
bersifat setapak demi setapak.
Ilmu secara terperinci memiliki keragaman dan dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Dikotomi
ilmu
- Ilmu formal, non formal, atau ilmu formal/non empiris
Ilmu formal berarti tidak bermaksud menyelidiki secara sistematis
data-data inderawi yang konkret seperti matematika dan filsafat, ilmu non
formal/empiris berarti seluruh kegiatannya bermaksud menyelidiki secara
sistematis data-data inderawi yang konkret seperti, ilmu alam, ilmu manusia.
- Ilmu murni dan terapan. Ilmu murni ialah ilmu yang bertujuan meraih kebenaran demi kebenaran. Contoh; matematika, metafisika. Ilmu terapan ialah ilmu yang bertujuan untuk diaplikasikan contohnya: ilmu kedokteran teknik, hukum ekologi, administrasi dan lain-lain.
- Ilmu nometis dan idiografis. Nometis seperti ilmu-ilmu alam yang pembahasannya mengamati gejala-gejala pengalaman yang dapat diulangi terus menerus dan mempunyai hubungan dengan hukum alam. Ilmu idografis termasuk ilmu-ilmu budaya, objek pembahasannya bersifat individual, unik yang hanya terjadi satu kali dan mencoba mengerti objeknya menurut keunikannya itu.
2. Ilmu
deduktif dan induktif
- Ilmu deduktif yakni proses pemikiran dimana akal budi manusia dari pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat khusus dan individual contoh: matematika.
- Ilmu induktif yakni proses pemikiran dimana akal budi manusia dari pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat khusus dan individual menarik kesimpulan tentang hal-hal yang bersifat umum dan abstrak.
II. HAKEKAT
ILMU
Membahas masalah hakekat ilmu tentang hal-hal signifikan yang perlu
dikaji adalah langkah-langkah suatu pengetahuan sehingga mencapai yang bersifat
keilmuan.
Langkah-langkah ilmuwan suatu ilmu berlangsung dalam tahap-tahap sebagai
berikut (Surajiyo: 2000).
1. Perumusan
masalah, setiap penyelidikan ilmiah dimulai dalam bentuk pertanyaan agar
ilmuwan mempunyai jalan untuk mengetahui fakta apa saja yang bisa dikumpulkan
berkaitan dengan pertanyaannya.
2. Pengamatan
dan pengumpulan data/observasi. Penyelidikan ilmiah dalam tahap ini mempunyai
corak empiris dan induktif dimana seluruh aktifisnya diarahkan pada pengumpulan
dan melalui pengamatan yang dicermati.
3. Pengamatan
klasifikasi data. Dengan klasifikasi, menganalisa, membanding-bandingkan, dan
membeda-bedakan data yang relevan.
4. Perumusan
pengetahuan yaitu dengan mengatakan analisa dan sintesa secara induktif.
Kemudian mengadakan generalisasi sehingga terbentuklah teori.
5. Tahap
ramalan (prediksi). Teori yang telah terbentuk, diturunkan hipotesa baru
kemudian mulai menyusun implikasi-implikasi logis melalui pengamatan terhadap
fakta yang sebenarnya.
Cara kerja ilmu pengetahuan dan filsafat dipaparkan secara jelas dan
berurutan oleh Verhaak dan Haryono (1995). Mereka membagi cara kerja ilmu mulai
dari asas logika, ilmu-ilmu empiris-induksi, ilmu-ilmu pasti-deduksi, dan cara
kerja filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan. Berikut ulasannya:
a. Asas
logika
Menurut Ahmad Tafsir (2001) logika adalah salah satu cabang filsafat yang
dikembangkan oleh Aristoteles yang membicarakan norma-norma berpikir benar agar
diperoleh pengetahuan yang benar. Ada
2 macam logika; material dan formal. Logika formal adalah logika yang
memberikan norma berpikir benar dari segi bentuk (form) berpikir.
Sedangkan material adalah bila kesimpulan sesuai dengan objeknya. Suatu
penarikan kesimpulan dari proses berpikir dari pengetahuan dianggap sahih
(valid) dilakukan menurut cara tertentu yang disebut dengan logika (Depdikbud,
1982/1983). Jadi logika adalah pengkajian untuk berpikir secara sahih.
b. Ilmu
Empiris dan Deduksi
Dalam penarikan kesimpulan (logika) ada 2 jenis cara penarikan kesimpulan
yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Keuntungan
yang dapat diperoleh ada 2; pertama, ialah penyatuan yang bersifat umum itu
bersifat ekonomis. Kedua, pernyataan yang bersifat umum adalah dimungkinkannya
proses penalaran selanjutnya (Depdikbud, 1982/1983).
Deduksi adalah cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum
diberikan kesimpulan yang khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
mempergunakan pola pikir dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari 2 buah
pernyataan kesimpulan disebut premis mayor dan premis minor, kesimpulannya
merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua
premis tersebut.
Contoh:
A adalah manusia A
= B
Manusia itu mortal B
= C
Jadi, A itu adalah mortal A
= C
c. Cara
kerja filsafat ilmu
Cara berfilsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam
dunianya. Pengalamannya yang kaya dengan segala sesuatu yang tersirat itu
hendak dinyatakan yang tersurat. Lewat intuisi secara mendalam setiap
pengalaman yang mau dicapai filsafat melalui jalan yang dinamakan reduksi
transendental walau ini tidak dapat dicapai dalam asbtraksi. Salah satu cara
kerja yang bertitik pangkal pada pengalaman manusia, yang mencari dan bertanya
tentang segala sesuatu. Berkat adanya intuisi yang merupakan sumber pengalaman
itu, manusia mengadakan reduksi ke arah sumber itu. Reduksi bersifat abstrak
dan deduksi sebenarnya dari kenyataan yang dialami itu dapat diungkapkan secara
tersurat dan dipahami.
Filsafat ilmu pengetahuan mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian
lebih transenden daripada ilmu-ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu juga memiliki
wilayah lebih luas daripada penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu. Dimana
juga bertugas meneliti dan menggali sebab musabab pertama dari gejala ilmu
pengetahuan diantaranya paham tentang kepastian, kebenaran, dan objektivitas
dan juga bertitik pangkal pada gejala ilmu-ilmu pengetahuan, mengadakan reduksi
ke arah intuisi yang ada dalam ilmu-ilmu pengetahuan, sehingga kegiatan
ilmu-ilmu dan pelaksanaannya dapat dimengerti sesuai dengan kekhasannya
masing-masing. Verhaak dan Haryono Imam (1995).
Hakekat ilmu menurut Suriasumantri (2001) ditentukan oleh cara berpikir
yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan dimana ilmu bersifat terbuka,
demokratis, dan menjunjung kebenaran di atas segala-galanya. Kelebihan ilmu
terletak pada pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis serta telah
teruji kebenarannya. Khazanah teoritis ilmu harus selalu dinilai berdasarkan
pengujian empiris, proses penilaian yang terus menerus ini mengembangkan suatu
mekanisme yang bersifat memperbaiki diri.
Ilmu secara ontologis hanya membatasi diri pada gejala-gejala yang
bersifat empiris. Aspek kehidupan sebenarnya secara keseluruhan adalah demikian
kompleks dan tidak semata bersifat empiris. Sebab tujuan penelaahan keilmuan
adalah menarik pengetahuan yang merupakan milik umum.
III.
Batas-batas Ilmu
Hal yang termaksud di batasan ilmu di sini adalah apakah setiap ilmu itu
mempunyai kebenaran yang bersifat sangat universal ataukah ada norma-norma
fundamental bagi kebenaran ilmu. Hal-hal yang terkait di dalamnya antara lain,
etika keilmuan dan sekitar kepastian dan kebenaran pengetahuan.
A. Etika
Keilmuan
Timbulnya ilmu tentu memberikan konsekuensi kepada khalayak ramai baik
itu sedikit maupun secara tidak langsung. Ilmu adalah memberikan kontribusi
penting bagi masyarakat umum, khususnya bagi para ilmuwan, untuk itu
konsekuensi moral pada ilmu cukup penting sebagai sikap ilmiah. Surajiyo (2000)
mengurutkan pengetahuan ilmiah memiliki karakteristik; kritis, rasional, logis,
obyektif dan terbuka. Konsekuensi ilmu harus dipertanggungjawabkan secara
sosial untuk melestarikan keseimbangan alam semesta. Artinya selaras antara
kehendak manusia dan kehendak Tuhan.
Menurut Suriasumantri (2001) kegiatan berilmu merupakan mewah yang
menyegarkan jiwa. Dengan demikian yang
dapat memperoleh banyak pengertian tentang ilmu dan dunia di sekelilingnya. Menurut
paham Yunerus, bentuk tertinggi dari ilmu adalah kebijaksanaan kebersamaan itu
melihat suatu sikap etika. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah
suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan, kebenaran
memang merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri.
Karena ilmu sangat terkait dengan kebenaran, kriteria kebenaran terbagi
atas 3 (Depdikbud, 1982/1983). Pertama, disebut teori koherensi, secara
koherensi suatu pernyataan pertanyaan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan
berdasarkan pembuktian dan berdasarkan teori koherensi, dengan mempergunakan
aksioma. Kedua, teori korespondensi; dimana bagi penganut ini menganggap suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berhubungan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Ketiga, teori pragmatis
dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914). Bagi kaum pragmatis kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis, artinya suatu pernyataan adalah benar, jika
pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan mempunyai kegunaan praktis
dalam kehidupan manusia.
Seperangkat pengetahuan yang membedakan antara benar dan salah, baik dan
buruk, serta indah dan jelek tentu saja semua penilaian ini tidak dapat
dilakukan oleh ilmu itu sendiri sebab penilaian yang dapat diandalkan biasanya
membutuhkan pihak lain. Filsafat meletakkan dasar-dasar suatu pengetahuan, jadi
filsafat ilmu adalah pengetahuan yang membahas dasar-dasar ujud keilmuan.
Melalui pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang disebut ilmu? Ciri-ciri
pembedaan ilmu dengan pengetahuan lainnya? Bagaimana cara menarik kesimpulan
secara benar ? sarana apa saja yang dibutuhkan dalam berpikir ilmiah? Semua
pernyataan ini masuk dalam kajian filsafat ilmu (Depdikbud, 1982/1983).
Kembali ke topik ilmu yang memiliki sikap ilmiah, Abbas Hamami M. dalam Surajiyo
(2000) mengelompokkan sedikitnya ada enam sikap ilmiah yaitu:
- Tidak ada rasa pamrih, artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan kesenangan pribadi.
- Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi.
- Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
- Adanya sikap yang berdasarkan pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
- Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya. Ilmu-ilmu empiris itu bersifat bebas, artinya tidak pernah ada semacam paksaan pada akal agar sesuatu disetujui, bahwa kepastian bersifat nisbi, sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan tanpa paksaan.
Kebenaran ilmu diberi penyamaan akal dengan kenyataan, yang terjadi pada
taraf inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai pada kesamaan sempurna yang
dituju kebenaran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ilmu empiris memegang
peranannya dalam pengalaman manusia. Ilmu-ilmu empiris memegang peranannya
dalam usaha mengejar semacam itu. Dalam bidang ilmu-ilmu itu sendiri pun
kebenaran selalu bersifat sementara. Ilmu-ilmu pasti tidak langsung
berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran, tepatnya perjalanan
ilmu-ilmu merupakan sumbangan agar pengetahuan di luar ilmu-ilmu makin lancar
mendekati kebenaran. Verhaak dan Haryono Imam (1995).
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan masalah kedudukan dan pendekatan filsafat ilmu
pengetahuan dapat ditarik beberapa garis besar antara lain:
1. Filsafat
ilmu adalah pengetahuan yang membahas dasar-dasar ujud keilmuan, dimana
tujuannya untuk mengadakan analisa mengenai ilmu pengetahuan dan cara-cara
bagaimana pengetahuan ilmiah itu diperoleh dan lebih menekankan pada
penyelidikan ilmiah itu sendiri.
2. Konsep
dasar ilmu pengetahuan lebih menekankan bagaimana filsafat ilmu mencoba
menjelaskan pranggapan pada setiap ilmu dan menempatkan keadaan yang tepat bagi
setiap cabang ilmu utamanya epistemologi dan filsafat pengetahuan dan
metafisika. Beberapa hal yang disinggung di dalamnya antara lain aliran-aliran
epistemologi (Rasionalisme, kritisisme, dan empirisme). Dikotomi ilmu (ilmu
formal, non formal, ilmu murni, ilmu terapan, ilmu numetis dan idiografis, dan
ilmu induktif dan deduktif)
3. Hakekat
ilmu lebih menjawab pada langkah-langkah suatu pengetahuan mencapai taraf
keilmuan dan keilmiahannya, hal-hal yang terkait antara lain; metode, hipotesa,
pengujian, asas logika, ilmu empiris dan deduksi dan cara kerja filsafat umum.
Kesemua hal-hal ini adalah jalan yang harus ditempuh ilmu untuk berproses dan
berterima sebagai suatu hal yang harus bersifat ilmiah, universal dan
bertanggung jawab.
4. Batas-batas
ilmu membahas setiap ilmu apakah memiliki kebenaran yang bersifat universal dan
berlandaskan norma-norma fundamental bagi kebenaran ilmu. Ada 2 hal yang terkait untuk menjawab
kebenaran keilmuan yaitu; pertama etika keilmuan harus berkonsekuensi pada
moral sosial atau tanggung jawab moral pada masyarakat luas karena ilmu harus
bermaslahat bagi kehidupan manusia di dunia. Kebenaran ilmu juga tidak bisa
dijadikan satu-satunya sandaran mutlak namun perlu ada hal lain seperti
filsafat misalnya kebenaran ilmu bisa dipercayai harus secara proporsional.
Kedua, kepastian dan kebenaran ilmu pengetahuan melalui kemampuan inderawi dan
akal menyebabkan kebenaran yang diperoleh pada umumnya bersifat sementara dan
kontinuity sehingga manusia menuju kebenaran bersifat nisbi dan perlu adanya
hal yang disetujui tanpa sebuah paksaan atas kebenaran ilmu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman. Mulyono. Dr., 2002. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan
Belajar. Rineka Cipta: Jakarta .
Beerling, et. Al. 1990. Pengantar Filsafat Ilmu. Tiara Wacana
Yogya: Yogyakarta .
Depdikbud. 1982/1983. Materi Dasar Pendidikan Program Akta
Mengajar V. Jakarta .
Poedjawijatna, I.R. 2004. Tahu
dan Pengetahuan. Rineka Cipta: Jakarta .
Surajiyo, Drs. 2000. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Institut
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta: Jakarta .
Suriasumantri, S. Jujun. 2001. Ilmu dalam Perspektif. Yayasan
Obor Indonesia : Jakarta .
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr. 2001.
Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Remaja
Rosdakarya: Bandung .
Komentar
Posting Komentar