ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di dalam kehidupan dunia yang fana ini, manusia tidak akan pernah dari pengaruh ilmu-ilmu telah menjadikan peradaban manusia dari masa ke masa mengalami perubahan. Tanpa ilmu tidak akan pernah didapatkan kemajuan, sehingga eksistensi ilmu sangatlah signifikan.
Akan tetapi ilmu hanyalah bersifat tentatif. Kebenarannya pun relatif. Dapat dipahami bahwa ilmu suatu waktu benar adanya, namun kita buktikan dengan salah satu contoh berikut ini.
“Di zaman dulu, ketika belum ada pesawat terbang, orang tidak akan percaya bahwa besi bisa terbang. Tetapi di zaman modern ini, orang pasti akan mempercayai hal tersebut ini”.
Ternyata ilmu tidak memberikan kebenaran mutlaq. Sama halnya dengan filsafat, hanya memberikan kepada kita kebenaran relatif. Sangatlah berbeda dengan Al-Qur’an, yang menjadi pedoman hidup manusia, kebenaran yang ada di dalamnya adalah kebenaran mutlak. Kebenarannya sudah dijamin oleh Allah swt. karena Allah sendiri yang menurunkannya serta sifatnya sebagai petunjuk bagi manusia.[1]


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka lahirlah masalah yang akan dibahas dalam makalah ini:
1.      Penjelasan tentang kenisbian ilmu ?
2.      Hubungan ilmu, filsafat dan agama ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kenisbian Ilmu
Ilmu bersifat sementara, karena itu ia nisbi (relatif) penemuan baru dapat mengubah pandangan, pendapat, kesimpulan, atau teori. Sejarah ilmu adalah sejarah pembaharuan teori. Teori terakhir mengandung teori sebelumnya dalam dirinya. Dengan demikian ilmu bersifat progresif. Teori yang sudah ditinggalkannya, tidak diulanginya kembali. Kenapa? sebab teori itu terbukti keliru. Karena ilmu masih penelitian, penelitian pulalah yang menguji benar salahnya. Apakah suatu teori benar atau salah? Itu dapat dibuktikan dengan fakta atau data-data hasil riset. Dalam hal ini filsafat berbeda dari pada ilmu.[2]
Oleh karena itu, kebenaran dari ilmu pengetahuan itu bersifat tidak mutlak, maka seluruh permasalahan manusia di dunia tidaklah dapat dijawab dengan tuntas oleh ilmu. Salah seorang filosof besar berkebangsaan Jerman, Immanuel Kant pernah mengatakan bahwa, semua manusia mempunyai akal. Akan tetapi, akal itu terbatas. Ia hanya berharap akan memahami rumput yang kecil, sekalipun sebab-sebab yang sifatnya mekanis belaka. Hal ini dipertegas lagi oleh Dr. Mr. D.C. Mulder yang mengatakan ahli-ahli ilmu sering mendapatkan soal-soal, dan mereka tidak dapat memecahkan dengan ilmu.
Pengungkapan para ahli tersebut di atas kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Tidak semua permasalahan yang dipersoalkan manusia dalam hidup dan kehidupannya dapat dijawab dengan tuntas oleh ilmu pengetahuan itu.
2.      Nilai kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat positif relatif atas nisbi dalam arti tidaklah mutlak kebenarannya.
3.      Batas dan relativitas ilmu pengetahuan bernuansa pada filsafat, dalam arti bahwa semua permasalahan yang berada di luar atau di atas jangkauan dari ilmu pengetahuan itu diserahkan kepada filsafat untuk menjawabnya.[3] Tetapi filsafat juga tidak dapat memberikan mutlak karena ia juga bersifat relatif (nisbi).
Lebih jauh lagi, Dr. Frans Dahles mengemukakan sebagai berikut:
“Menurut Marxisme, agama akan lenyap. Karena ilmu pengetahuan makin lama makin mampu mengartikan hidup yang membebaskan manusia dari pertanyaan yang mendasar dan terpendam dalam sanubari manusia. Misalnya tentang arti kematian, sukses, gagalnya cinta, makna sengsara yang tidak dapat dihindarkan oleh ilmu yang paling maju sekalipun. Dan lebih daripada itu, ilmu tidak memenuhi kerinduan, kehausan manusia akan cinta mutlak dan abadi.[4]

Pengetahuan nisbi atau relatif tidaklah mutlak kebenarannya. Doktrin yang menjelaskan hal ini dikenal sebagai relativisme. Dalam doktrin ini pula, dijelaskan bahwa pendapat dua tendensi yang saling berbeda. Kedua tendensi itu ialah:
Pertama-tama harus diketahui bahwa pembicara rasional, menurut Kant, ada dua: Pertama, penilaian analitik, yaitu penilaian yang dipakai akal untuk menjelaskan saja, seperti ucapan kita: “seperti benda padat itu ______ dan segitiga memiliki 3 sisi. Penelitian analitik tidak memberi kita informasi baru tentang subjek itu. Ia hanya berperan sebagai penjelas. Kedua, penilaian sintetik, yaitu suatu penilaian yang predikatnya menambahkan sesuatu yang baru kepada subjek itu. Seperti ucapan kita: “Benda-benda itu berat dan 2 + 2 = 4, kualitas yang kita berikan kepada subjek dalam proposisi-proposisi tersebut tidak tersimpulkan dari subjek oleh analisis, tetapi itu merupakan tambahan. Karenanya, timbullah pengetahuan baru yang tidak ada sebelumnya.[5]
Relativisme
Setelah Kant, datanglah kaum relativis subjektif, mereka adalah orang-orang yang yakin pada watak relatif dalam setiap yang tampak benar bagi manusia menurut peranan akal.
Setiap individu dalam mencari kebenaran itu. Jadi, dalam konsep baru ini, kebenaran hanyalah sesuai yang diniscayakan oleh kondisi-kondisi dan situasi-situasi untuk mengetahui. Karena situasi dan kondisi seperti itu berbeda pada masing-masing individu dan berbagai keadaan, maka kebenaran dalam setiap sesuatu adalah kabaikan dengan hal terbentuknya, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terkandung dalam sesuatu itu.[6]

B.     Hubungan Ilmu, Filsafat dan Agama
Kebenaran tiga institusi ini memiliki hubungan, dalam bentuk persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah ketiganya sama-sama merumuskan kebenaran, sedangkan perbedaannya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.       Ilmu mencari kebenaran dengan cara menyelidiki (riset) sesuai dengan eksistensinya yang berhubungan dengan alam empiris. Dalam penyelidikannya, ilmu selalu mencari hukum sebab akibat (corsalitas) dan selalu dari anggapan: Jika …….. maka … misalnya, jika “dicampur gula, kopi dan air”, maka “ia akan menjadi kopi”. Jika dicampur gula, the, dan air” maka “ia akan menjadi manis”. Sebagai hukum sebab akibat, kebenarannya pasti adanya, kemudian, sesuai dengan objeknya yang material, maka ilmu bersifat spesialisasi, yaitu mendekati setiap masalah secara parsial. Ini kemudian berakibat pada kebenaran ilmu tertatif.[7]
2.       Sedangkan sifat kebenaran filsafat adalah spekulatif yaitu suatu perenungan yang bersifat pendugaan yang mengakar (radikal), menyeluruh (integral) dan menyemesta (universal) juga bersifat nisbi (relatif).[8]
Agama menemukan konsep kebenaran pada wahyu yang kebenarannya bersifat absolut, sebagai kebenaran tertinggi. Karena itu, dalam perumusannya senantiasa diawali dan diakhir dengan ajaran dasar agama, yaitu wahyu. Benar tidaknya sangat ditentukan oleh sesuai tidaknya suatu rumusan (pemikiran) dengan ajaran agama.
Baik ilmu kebenarannya positif, bisa dibuktikan secara empiris (observasi dan eksperimentasi) dan tertatif (sesuai dengan waktu dan tempat), maupun filsafat yang kebenarannya bersifat spekulatif (berdasarkan nalar/logika), kedua-duanya bersifat relatifi. Relatifitas ini disebabkan karena bersumber dari manusia yang juga bersifat absolut yaitu Tuhan, sebab itu ilmu dan filsafat dimulai dari keraguan (skeptisisme) sedangkan dimulai dari keyakinan (keamanan) dan berakhir pada keyakinan pula. Keyakinan adalah karakter dasar agama, sebab itu kehilangan keyakinan sama dengan kehilangan agama.[9]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
-          Ilmu manusia tidak mampu memberikkan solusi pada semua permasalahan yang ada dalam kehidupan ini, ia relatif, bersifat sementara dan tidak mutlak kebenarannya pada hari ini bisa berubah di masa yang akan datang
-          Relativisme merupakan doktrin yang menjelaskan adanya dua pendapat tentang ilmu. Pendapat pertama mengatakan pengetahuan dan prinsip-prinsip matematis sebagai realitas (kebenaran) mutlak. Sedangkan pendapat kedua adalah kebenaran nisbi.
-          Ilmu, filsafat dan agama adalah tiga hal yang tidak dipisahkan ketiganya memiliki hubungan yang erat. Kebenaran ilmu dan filsafat adalah relatif, sedangkan kebenaran agama adalah mutlak.
B.     Saran dan Kritik
Sebagai kata terakhir, makalah ini masih jauh dari bentuk kesempurnaan, olehnya itu saran dan kritik senantiasa kami harapkan guna terbentuknya penulisan yang lebih baik di makalah yang lainnya



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan TerjemahnyA.
Gazalba, Sidi  Sistematika Filsafat Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Salam, Burhanuddin  Pengantar Filsafat Cet. N; Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Ash-Shadr,  M. Baqir Filsafatuna, Dirasah Mardhu’yyah fil Mu’tarak al-Shira’ al-Fikry al-Fikry al-Qaim baina mukhtalaf al-Thasayal al-Falsafiyyah al-Islamiyah wa al-Madiyyah al-Madiyyah al-Diyaliktiyyah (Al-Marksiyyah, diterjemahkan oleh M. Nur Mufid bin Ali dengan Judul Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shads terhadap berbagai aliran filsafat dunia Bandung: Mizan, 1992.
Nasution, Hasan Bakti Filsafat Umum Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.




[1]Al-Qur’an dan Terjemahnya, QS. Al-Baqarah (2): 185, h. 45.
[2]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
[3]Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Cet. N; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 41-42.
[4]Ibid., h. 43.
                [5]M. Baqir Ash-Shadr, Filsafatuna, Dirasah Mardhu’yyah fil Mu’tarak al-Shira’ al-Fikry al-Fikry al-Qaim baina mukhtalaf al-Thasayal al-Falsafiyyah al-Islamiyah wa al-Madiyyah al-Madiyyah al-Diyaliktiyyah (Al-Marksiyyah, diterjemahkan oleh M. Nur Mufid bin Ali dengan Judul Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shads terhadap berbagai aliran filsafat dunia (Bandung: Mizan, 1992), h. 92.
[6]Ibid., h. 98.
[7]Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 30.
[8]Burhanuddin Salam, op.cit., h. 185.
[9]Hasan Bakti Nasution, op.cit., h. 31.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KELUARGA DAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN

ADMINISTRASI DAN ORGANISASI PENDIDIKAN

BATAS-BATAS DAN KONSEP PENDIDIKAN