Mengenang 50 Hari Wafatnya Imbok Siti Shofiyah

Imbok (Almarhumah) dan Ipak saat berkunjung di Pantai Parepare, Sulsel

Imbok (sebutan kami bersaudara kepada ibu kandung kami Siti Shofiyah) meninggal dunia pada tanggal 18 Agustus 2014 sekitar pukul 13.00 WIB di Rumah Sakit NU Lamongan, setelah mengalami koma dan dirawat selama kurang lebih 12 jam. Jenazahnya dikebumikan pada keesokan harinya yakni Hari Selasa tanggal 19 Agustus 2014 sekitar Pukul 08.00 WIB di Pemakaman Umum Desa Sungegeneng Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Penguburan yang terkesan lambat bukan tanpa alasan, karena pada saat wafatnya hanya 2 orang (Bekan dan Mbak Sholihah) dari 6 anaknya yang sempat menjaga hingga diambil oleh Allah swt. Sedangkan anaknya yang lain masih dalam perjalanan, 1 orang tiba sekitar habis maghrib (Kak Sholihin dari Makassar), sedangkan Kak Qomari (dari Bali), Kak Azis (Bekasi) dan aku sendiri baru tiba pukul 01.00 dini hari, sehingga penguburannya menunggu kami semua datang.

Meskipun terlihat singkat proses meninggalnya, namun penyakit yang diderita Imbok cukup serius karena merupakan komplikasi dari jantung, ginjal dan bermacam-macam penyakit lainnya. Disebabkan karena penyakit Diabetes yang telah menahun sejak tahun 2010 silam, imbok sudah berjuang bersabar dan bertahan melawan penyakitnya tersebut, hingga pernah jari kakinya hampir diamputasi karena adanya luka yang membusuk pada kakinya, tapi alhamdulillah penyakit itu sembuh setelah dirawat di Makassar. Bahkan di akhir-akhir hayatnya dalam rentang waktu 3 bulan saja sempat opname di RSUD Lamongan 7 hari, 2 kali di RS Muhammadiyah Lamongan dan terakhir di Rumah Sakit NU Lamongan.

Doa untuk Imbok : "Allahummaghfirlaha warhamha wa'afiha wa'fu anha wa akrim nuzulaha wa wassi' madkholaha" "Ya Allah Ampuni dosa-dosa imbok, terimalah amal kebaikannya, dan berilah rahmat dan kasih sayang-Mu kepadanya, serta kumpulkanlah kami sekeluarga di surga-Mu kelak, Aamiin Ya Rabbal Alamin

Sungguh berat perjuangan imbok bersama ipak (panggilan kami kepada bapak kandung Kasib), selain karena penyakit yang dideritanya juga secara psikologi mereka hanya hidup berdua di kampung, sedangkan keenam anak beserta cucu-cucunya tak satupun yang tinggal di desanya, semua merantau ke luar daerah, ada yang di Makassar, Bali, Mataram, Bekasi dan saya sendiri di Buol Sulawesi Tengah yang belum tentu 1 tahun sekali dapat berkumpul dengan keenam anaknya. Walau kadang imbok dan ipak lebih memilih mengalah dengan mendatangi anak-anaknya di perantauan tersebut.

Pengorbanan kepada keluarga sangat besar, dan seumur hidup kami tidak akan melupakan jasa, bimbingan dan didikan yang diajarkan kepada kami semua, yakni salah satunya adalah "semangat pantang menyerah" terutama untuk menyekolahkan keenam anaknya hingga tamat SMA, dan alhamdulillah tiga diantaranya berhasil hingga lulus S1. 

Semangat, tanggung jawab, keikhlasan dan kesabaran serta berbagai sifat dan sikap bijak lainnya telah ditunjukkan dan dicontohkan oleh Imbok dan Ipak, sehingga kami semua berharap semoga apa yang telah ditanamkan kepada kami tersebut dapat kami tiru dan menjadi rujukan kami dalam menyikapi persoalan hidup.

Yang akhirnya, pemikiran kami semua tertuju kepada nasib orang tua kami satu-satunya yang tersisa yakni Ipak. Ipak lebih memilih tetap bertahan untuk tinggal di kampung sendirian. Beberapa kali ajakan dan harapan kami bersaudara telah diutarakan agar Ipak bisa ikut tinggal dengan salah satu dari kami. Agar beliau tidak hidup sendiri sebatang kara di kampung halaman, tapi lagi-lagi Ipak hanya bisa mengatakan "Aku tak nok ndeso ae, nunggui omah peninggalane mbokmu, omah iki seng gak dijogo yo khawatir rusak soale gak ono seng manggoni, opo maneh kenangan karo mbokmu aku gak iso nglalekno" (Aku di desa saja, menunggu rumah peninggalan imbokmu, rumah ini kalo tidak ditinggali akan rusak, apalagi kenangan sama imbokmu gak bisa aku lupakan). Itulah ucapan yang sangat kami ingat dan sungguh sangat kami pahami itu, ucapan yang keluar dari lubuk sanubari yang sangat dalam, ungkapan seorang suami yang sangat menyayangi isterinya.

Sungguh berat meninggalkan ipak sendirian di sana, sedangkan kami belum tentu punya waktu libur yang cukup untuk pulang ke desa menjenguk Ipak.

Ya Allah, Ampuni hamba-Mu yang tiada berbakti kepada orang tua kami. Maafkan kami Pak, yang membiarkan ipak sendirian di akhir-akhir masa tuamu, di masa harus tenang bersama anak dan cucu....Semoga engkau selalu diberi kesehatan, kesabaran dan ketabahan oleh Allah swt.

Aamiin, Aaamin Ya Rabbal Alamiin..

TITIP RINDU BUAT AYAH
(Ebiet G. Ade)

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwaBenturan dan hempasan terpahat di keningmuKau nampak tua dan lelah, keringat mengucur derasnamun kau tetap tabah hm...
Meski nafasmu kadang tersengalmemikul beban yang makin saratkau tetap bertahan

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan iniKeriput tulang pipimu gambaran perjuanganBahumu yang dulu kekar, legam terbakar mataharikini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudarmeski langkahmu kadang gemetarkau tetap setia

Ayah, dalam hening sepi kurinduuntuk menuai padi milik kitaTapi kerinduan tinggal hanya kerinduanAnakmu sekarang banyak menanggung beban

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan iniKeriput tulang pipimu gambaran perjuanganBahumu yang dulu kekar, legam terbakar mataharikini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudarmeski langkahmu kadang gemetarkau tetap setia
(sempat menjadi status facebooknya adik Ahmad Subhan)

 (Buol, 7 Oktober 2014 Pukul 22.24 WITA)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERANAN KELUARGA DAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN

ADMINISTRASI DAN ORGANISASI PENDIDIKAN

BATAS-BATAS DAN KONSEP PENDIDIKAN